Menyapa Ujung Barat Indonesia: Cerita Perjalanan ke Sabang

Akhirnya, impian lama itu kesampaian juga: menjejakkan kaki di Sabang, si ujung barat Indonesia, yang selama ini cuma bisa kulihat dari berbagai media daring yang ada. Perjalanan ini bukan sekadar tentang destinasi, melainkan juga tentang pengalaman, kejutan, dan rasa syukur yang tiada henti-hentinya muncul sepanjang kaki melangkah.

Menuju Sabang: Perjalanan Dimulai

Perjalanan ini dimulai dari Kota Medan. Aku dan keluarga—6 orang dewasa dan 2 orang anak-anak—, melalui jalur darat menuju Kota Banda Aceh. Berangkat pada Senin (27/1/2025) malam, kami sampai di Banda Aceh pada Selasa (28/1/2025) siang, sekitar pukul 12.00 WIB.

Sesampainya di Banda Aceh, kami memutuskan untuk beristirahat—menginap semalam—untuk kemudian berangkat ke Sabang pada Rabu (29/1/2025) pagi. Menuju ke Sabang, kami memilih menaiki Kapal Cepat Bahari Express yang hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Sungguh, pengalaman yang sangat memanjakan mata. Birunya air laut memikat mataku hingga tak berkedip sedetik pun.

Begitu menginjakkan kaki di Pelabuhan Balohan, saya langsung mengerti kenapa banyak orang yang jatuh cinta dengan Sabang. Kota kecil ini tenang, bersih, dan memiliki suasana yang damai banget. Enggak ada hiruk pikuk ala kota besar. Udara pun segar. Rasanya kayak disambut oleh alam yang sabar dan ramah.

Keliling Pulau Weh Alias Sabang

Semua jalan di Pulau Weh alias Sabang serba mulus. Lalu lintasnya santai dan pemandangannya, duh, enggak ada lawan! Setiap tikungan menawarkan pemandangan baru: pantai, bukit, hutan, laut lepas. Rasanya sangat menakjubkan.

Pemberhentian pertama kami adalah Niky's Beach Resort. Penginapan ini terletak di ujung dan langsung menghadap ke Laut Sabang. Pasir pantai yang putih, ombak biru yang berdebur, semburat jingga yang menerpa wajah, masyaallah memberikan kehangatan di dalam hati.

Lalu, kami singgah ke Freddies Santai Sumurtiga. Sekadar berfoto dan menikmati keindahan pantai dari sudut yang lain. Perjalanan pun dilanjutkan ke Kilometer Nol Indonesia. Di sana, kami berhenti cukup lama, membeli jajanan, foto-foto, dan menikmati sejuknya hutan di sekitar.

Setelah itu, kami kembali ke penginapan untuk membersihkan diri dan istirahat sebentat. Malam tiba, kami memilih mencari makan ke luar. Untuk pertama kalinya, kami makan gurita. Wow—walau agak keras, sangat boleh untuk dicoba. Bumbunya itu yang jadi gong.

Keesokan harinya, Kamis (30/1/2025), rencana awal kami akan pergi ke Pantai Iboih, lalu menyeberang ke Pulau Rubiah. Sayangnya, ada satu dua hal yang membuat kami mengurungkan niat tersebut. Tenang, aku akan kembali lagi untuk menemui Iboih dan Rubiah. Akhirnya, kami memutuskan untuk berkeliling lagi: ke Pantai Ujung Karang, Benteng Jepang Anoi Itam, dan terkahir Pantai Lampuuk.

Pantai Lampuuk menjadi destinasi terakhir kami, sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Menyeberang—lagi—dengan kapal cepat, sampai di Banda Aceh, berbelanja oleh-oleh, lalu tancap gas ke Medan.

Pulang dengan Cerita

Perjalanan ke Sabang bukan cuma tentang tempat-tempat indah, melainkan juga tentang ketenangan, kehangatan, dan rasa “rumah” yang saya temukan di ujung barat negeri ini. Pulang dari sana, hati saya ringan. Ada sesuatu yang tersisa, semacam ketagihan akan keindahan dan ketulusan tempat ini.

Kalau kamu lagi butuh liburan yang enggak cuma memanjakan mata, tetapi juga hati, Sabang bisa jadi jawabannya. Siap-siap saja, kamu mungkin bakal jatuh cinta dan enggak pengin pulang.

Posting Komentar

0 Komentar